55 Seniman Unjuk Gigi di Pameran Seni Rupa Nusantara 2019

Minggu, 21 April 2019 - 07:22 WIB
55 Seniman Unjuk Gigi di Pameran Seni Rupa Nusantara 2019
55 Seniman Unjuk Gigi di Pameran Seni Rupa Nusantara 2019
A A A
Galeri Nasional Indonesia siap menggelar Pameran Seni Rupa Nusantara 2019 pada23 April-12 Mei mendatang. Gelaran bersifat terbuka ini memberikan kesempatan bagi para perupa di seluruh Indonesia untuk berpartisipasi, menunjukkan potensi dan kreativitas, serta eksistensinya dalam ajang seni rupa bertaraf nasional, baik bagi para perupa muda maupun para perupa andal yang telah lama berkecimpung di dunia seni rupa dalam lingkup nasional maupun internasional.

Pameran ini juga sekaligus menjadi media pemetaan perkembangan mutakhir seni rupa di Tanah Air. Galeri Nasional Indonesia sebelumnya telah sembilan kali menyelenggarakan Pameran Seni Rupa Nusantara. Pertama pada 2001, kemudian 2002, 2005, 2007, 2009, 2011, 2013, 2015, dan 2017 dengan mengangkat tema berbeda-beda.

Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto mengungkapkan, Pameran Seni Rupa Nusantara 2019 agak berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya. Di gelaran pameran kesepuluh ini tidak hanya menitikberatkan pada keterwakilan suatu wilayah, namun lebih menekankan pada keterampilan (skill) para perupa Indonesia yang diwakili dari hasil karyanya yang tentu sesuai dengan tema pameran, yakni “Kontraksi: Pascatradisionalisme”.

Di pameran kali ini menampilkan 55 karya dari 55 seniman yang diperoleh melalui mekanisme seleksi yang cukup ketat. Sebanyak 36 di antaranya merupakan hasil seleksi 886 karya dari 677 seniman yang dijaring melalui aplikasi terbuka, sedangkan 19 seniman dan karyanya merupakan undangan secara khusus berdasarkan pertimbangan kuratorial.

Keseluruhan karya yang ditampilkan menunjukkan eksplorasi media yang kaya di antaranya lukisan, patung, grafis, batik, dan instalasi. Selain pameran, perhelatan ini juga akan dilengkapi dengan program publik berupa Diskusi Seni Rupa “Kontraksi: Pascatradisionalisme” dan kunjungan ke Museum Macan pada 24 April.

Diskusi Seni Rupa dirancang untuk menajamkan wacana yang diusung melalui presentasi karya-karya di ruang pamer dengan menghadirkan narasumber berkompeten di bidang seni rupa.

Kunjungan juga memberikan kesempatan kepada para perupa peserta pameran untuk mendapatkan pengalaman visual artistik sekaligus memperkaya informasi dan sudut pandang yang bertujuan untuk mendapatkan inspirasi berkarya. Pameran Seni Rupa Nusantara tahun ini diharapkan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya terkait perkembangan seni rupa Tanah Air, mengingat penyelenggaraan pameran ini juga bertepatan untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional.

“Selain itu, pembukaan pameran pada 23 April bertepatan dengan tanggal wafatnya Raden Saleh yang saat ini sedang dalam usulan rancangan sebagai tanggal peringatan Hari Seni Rupa Nasional. Karena itu, Pameran Seni Rupa Nusantara kali ini diharapkan sebagai tanda dukungan Galeri Nasional Indonesia terhadap rancangan Hari Seni Rupa Nasional tersebut,” ungkap Pustanto dalam siaran persnya yang diterima KORAN SINDO kemarin.

Pameran ini juga diharapkan dapat memunculkan inspirasi dan motivasi untuk berkarya bagi para perupa dan publik luas yang mengapresiasi pameran ini. Publik diharapkan dapat mengenal lebih dekat tokoh-tokoh beserta karya para perupa Indonesia yang tak kalah dengan para perupa luar negeri, baik dari segi kedalaman konsep maupun artistik visualnya.

“Selain itu, pameran ini diharapkan menjadi sarana wisata edukasi kultural yang mampu menarik perhatian publik dalam negeri maupun mancanegara. Yang tak kalah penting, diharapkan pameran ini mampu mengisi titik-titik penting perkembangan seni rupa Indonesia sekaligus mendorong perkembangan tersebut demi kemajuan seni rupa Indonesia,” pungkas Pustanto.

Sementara itu, tim kurator Galeri Nasional Indonesia yakni Asikin Hasan, Sudjud Dartanto, Suwarno Wisetrotomo, Bayu Genia Krishbie, dan Teguh Margono menjabarkan istilah kontraksi (contraction) dalam Kamus Oxford diartikan sebagai “the process of shortening a word by combination or elision” (proses mempersingkat kata dengan kombinasi dan peniadaan bunyi dalam ucapan).

Terkait pengertian tersebut dan bingkai kurasi pameran, maka “Kontraksi” yang dimaksud dalam pameran ini sebagai sebuah pergulatan luar biasa sesuatu tanda dari berbagai proses kombinasi, dan dari pergulatan itu memungkinkan lahirnya tanda baru. Kelahiran tanda baru akan terus berulang-ulang mengikuti hukum alam sepanjang masa.

Persoalan apakah yang baru akan sama dengan yang lama atau lain sama sekali adalah kehendak yang harus kita terima sebagai sebuah proses dialektika. Modernisme dalam seni menghasilkan spirit “shock of the new”, di mana menyuguhkan “kebaruan” adalah ukuran utama dalam perkembangan seni.

Namun, untuk masa kini setelah modernisme mengalami krisis, spirit “shock of the new” berakhir dengan tanda tanya: benarkah seni rupa masa kini lahir dari gagasan baru? Seiring dengan pemikiran post-modernism yang memandang karya seni sebagai sebuah teks yang teranyam dengan teks-teks lainnya, maka menarik kiranya untuk melihat kembali kaitan gagasan penciptaan karya masa kini dengan gagasan/ide/pemikiran tradisional yang sesungguhnya, dalam keyakinan tim kurator terus berkembang.

Tradisionalisme di Indonesia berjalan dengan laju perkembangan modernisme sebagai negara-bangsa post-colonial. Walau keduanya berbeda konsep, namun pada praktik sosial kulturalnya bercampur baur membentuk rangkaian gagasan dan praktik yang tak terhingga. Bagaimana nilai/prinsip/gagasan tradisi direfleksikan/direfleksifkan oleh perupa masa kini?

Tim kurator mencoba berputar ke segala arah untuk mencari jawab. Dan, ternyata keterampilan adalah kunci utama pada bentang gagasan ini yang dilihat oleh tim kurator tampak terpinggirkan. Gejala itu makin menguat paling sedikit dalam satu dekade terakhir, di mana keterampilan makin dibelakangi di tengah jargon yang menjurus pada konsep yang terasa menguasai medan seni rupa pada pameran-pameran besar.

Mengapa tradisi keterampilan dibelakangi? Padahal, di situlah sejatinya seni rupa menunjukkan pesona dan kekuatannya. Akhirnya dengan mempertimbangkan fenomena di atas, tim kurator menitik-api kuratorial pameran ini pada aspek skill, yaitu keterampilan dalam berkarya.

Dari penjelasan tersebut, maka konteks “Pascatradisionalisme” yang dimaksud tim kurator mengisyaratkan kesadaran untuk tidak terjebak pada “keadiluhungan” dan kolektivisme sempit, alasannya bahwa yang nonadiluhung pun punya derajat sama dalam ranah seni kontemporer.

Selain itu, dalam kesadaran pascatradisionalisme: seniman adalah agen yang bebas berkreasi, menafsir tradisi, dan berempati dalam semangat kolektivisme baru yang memiliki ciri emansipatif (membebaskan) dan inklusif (terbuka atas keragaman) di tengah era nirsekat (globalisasi) sekarang ini.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6146 seconds (0.1#10.140)